Salah satu tempat yang membuat Indonesia terkenal sebagai eksportir
sirip hiu terkemuka dunia adalah tempat pelelangan ikan Tanjung Luar
yang terletak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Di tempat
pelelangan ini, setiap harinya, puluhan, bahkan ratusan, hiu dan ikan
pari dalam berbagai ukuran dibongkar dari 70 kapal yang datang dari
perairan Sulawesi dan Flores. Jumlah kapal sebanyak itu cukup signifikan
untuk menyapu habis populasi hiu dan manta di sekitaran lautan
tersebut. Bahkan Tanjung Luar disebut sebagai pasar hiu dan manta paling
agresif di dunia.
Rata-rata
ada 21 jenis hiu yang diperdagangkan di Tanjung Luar. Penduduk setempat
menggunakan nama-nama lokal untuk menyebut beberapa jenis hiu ini,
seperti hiu karet, hiu lonjor, hiu tikus, dan hiu kodok.
Begitu
dibongkar dan dilelang, hiu-hiu dan pari atau manta ini akan langsung
dibawa ke Jakarta, Bali, dan Surabaya, dengan tujuan akhir Hong Kong
serta Cina daratan.
Sekilas, nilai ekonomi yang ditawarkan dari
penangkapan hiu ini terasa besar. Sepanjang 2012, ada sekitar 3036 hiu
dan manta dengan ukuran 1-4 meter yang mampir di Tanjung Luar. Nilainya
mencapai sekitar Rp1,3 miliar selama setahun. Namun jika dibagi dengan
5000 orang yang tercatat sebagai penduduk Tanjung Luar, jumlah itu tentu
tak seberapa. Pada 2013, hiu dan manta dengan ukuran sama yang
dibongkar di Tanjung Luar tercatat ada 2627 dengan nilai Rp1,1 miliar.
Penghitungan
jumlah tangkapan hiu dan manta ini dilakukan tanpa mengikutkan
bayi-bayi hiu yang dijual per kilogram seperti layaknya ikan biasa di
pasar saking banyaknya, bukan lewat pelelangan. Di Tanjung Luar juga
banyak ditemukan hiu-hiu betina yang sedang hamil menjadi buruan. Ini
tentu akan berdampak pada keseimbangan jumlah predator di laut.
Fakta-fakta
ini adalah temuan dari penyelidikan selama dua tahun yang dilakukan
oleh Jakarta Animal Aid Network, gerakan #saveshark Indonesia, Gili Eco
Trust, dan Earth Island Institute.
"Nilai ekonominya terlalu
sedikit untuk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan," kata campaigner
dan pelapor JAAN Pramudya Harzani, Jumat (14/2) dalam konferensi pers
mengenai temuan tersebut.
Meski perlindungan undang-undang
terhadap hiu di Indonesia baru berlaku untuk jenis tertentu seperti hiu
gergaji/gitar Sentani, namun Indonesia sudah meratifikasi resolusi
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Resolusi ini mewajibkan
negara-negara yang sudah menandatanganinya untuk melindungi hiu dari
perburuan sirip.
Perburuan dan pelelangan hiu di Tanjung Luar
bukanlah tradisi turun-temurun. "Tradisi mereka adalah nelayan, bukan
tradisi berburu hiu," kata Pramudya. Dan seringnya, nelayan ini berburu
hiu atas permintaan rentenir. Nelayan-nelayan ini terbelit utang
sehingga harus membayar dalam bentuk tangkapan hiu. Banyak juga nelayan
yang dimodali secara khusus untuk melaut dan menangkap hiu. Kisarannya
mulai dari Rp5 juta untuk 2 hari melaut sampai Rp20 juta untuk 12 hari.
Begitu
sampai di tempat pelelangan, tak bisa sembarang orang yang ikut membeli
hiu-hiu ini. Ada 12 pembeli utama yang terbagi dalam kelompok Jawa,
Madura, Bugis, dan Sasak. Mereka inilah yang punya koneksi dengan
penampung sirip hiu dan insang manta.
Dengan volume bongkaran hiu
dan manta di Tanjung Luar, tak mungkin petugas pelelangan tak tahu apa
yang sedang terjadi. Toh praktik itu terus berlangsung karena tak ada
larangan resmi dalam bentuk undang-undang atau kuota ekspor, meski
kecaman dari dunia internasional akan konsumsi hiu sudah berlangsung
lama. Toh data Badan Pusat Statistik pada 2012 mencatat ada 60 ribu ton
hiu dan 434 ton sirip yang diekspor Indonesia. Artinya, produk hiu
tercatat sebagai komoditas ekspor resmi.
Perburuan sirip hiu dan
insang manta juga memakan korban lumba-lumba. Mamalia ini ikut diburu
untuk jadi umpan buat hiu. Padahal, perlindungan terhadap lumba-lumba
berpengaruh terhadap label 'dolphin safe' yang sangat penting buat
industri tuna. Konsumen internasional meminta ada label 'dolphin safe'
pada produk tuna yang dijual. Artinya, lumba-lumba tak dibahayakan dalam
industri penangkapan tuna. Jika perburuan lumba-lumba di Tanjung Luar
terus terjadi, maka label 'dolphin safe' yang dimiliki Indonesia bisa
dicabut, dan industri tuna kita terancam kehilangan konsumen
internasional.
Menurut
aktivis JAAN Femke den Haas, pada 2013 lalu di Peru juga ada aktivitas
perburuan lumba-lumba untuk jadi umpan hiu. Namun dalam sebulan
pemerintahnya tanggap dan menghentikan praktik tersebut. "Di Tanjung
Luar ini sudah berlangsung dua tahun dan tidak ada tindak lanjutnya,"
kata Femke.
Menghentikan perburuan hiu untuk sirip, manta untuk
insang, atau lumba-lumba untuk umpan tak sekadar soal keseimbangan
ekosistem saja. Ada persoalan ekonomi yang mendasar.
Perburuan
sumber daya laut dengan model seperti ini tak membawa kesejahteraan yang
berlanjut buat penduduk lokal. Muatan hiu dan manta ini hanya sekadar
mampir di Tanjung Luar, lalu dibawa ke tujuan akhir di Hong Kong dan
Cina. Volume penangkapan yang dilakukan sekarang, apalagi sampai
bayi-bayi hiu ikut ditangkapi, artinya menghabiskan 'jatah' tangkapan
nelayan generasi berikutnya.
Delphine Robbe dari Gili Eco Trust
bilang organisasinya punya pilihan program ekonomi laut yang bisa
dikembangkan di Tanjung Luar, seperti pariwisata laut atau budidaya air
tawar. Namun sulit untuk mengalihkan nelayan ke model-model bisnis
seperti itu jika mereka terus terikat utang dengan rentenir. Belum lagi
kekuatan mafia di Tanjung Luar yang membuat nelayan tak bisa berhenti
menangkapi hiu dan manta.
Sebagai perbandingan, wisata melihat
manta di Nusa Lembongan, Bali, bisa membawa pemasukan Rp23,5 miliar per
tahun, sementara hasil tangkapan hiu dan manta dalam setahun terakhir
hanya membawa rata-rata Rp1 miliar per tahun. Membiarkan manta (dan hiu)
hidup pun seharusnya jadi pilihan ekonomi yang lebih logis. Industri
pariwisata hiu dan manta pun sudah ada di Nusa Penida, Bali dan bahkan
di pulau-pulau Gili, Lombok Barat.
Dengan rencana pemerintah
menerapkan program Visit Lombok and Sumbawa di 2015, seharusnya ada
kepentingan untuk menjaga ekosistem laut kawasan tersebut lebih lestari.
Menurut Delphine, jika ada aturan yang lebih ketat soal perdagangan,
seperti melarang penjualan insang manta atau sirip hiu, maka setidaknya
ada dasar hukum yang mengurangi pengaruh mafia pengepul sirip dan insang
di Tanjung Luar.
Sayangnya, pemerintah, baik pusat dan lokal,
maupun penduduk setempat, belum mampu melihat opsi-opsi ini untuk
alternatif kesejahteraan. Maka penangkapan hiu dan manta terus-terusan
dijadikan sumber pemasukan, meski tak seberapa, seolah keduanya tak akan
pernah habis dieksploitasi.
No comments:
Post a Comment