Eusta Supono - suaraPembaca
Di sebagian masyarakat kita masih menyimpan begitu kuat memori aroma politik Orde Baru sekitar akhir tahun 1997 - awal 1998. Tidak akan pernah terbersit bahwa Jendral Besar Soeharto akan lengser keprabon. Paduan Suara MPR di bawah kepemimpinan Harmoko dengan kompak dan lantang mengangkat kembali Jendral Besar Soeharto sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 1997 - 2002.
Tetapi, paduan suara yang sama pula yang meminta Presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh BJ Habibie. Keputusan mengundurkan diri Presiden Soeharto bisa dikatakan terlambat. Setelah begitu banyak jatuh korban. Perekonomian Indonesia hancur. Pabrik-pabrik tutup dan begitu banyak tenaga kerja harus menjadi pengangguran.
Gerakan mahasiswa yang muncul sebagai kekuatan social mahadahsyat hadir di mana-mana yang berujung pada peristiwa tewasnya banyak aktivis bersamaan dengan kerusuhan Mei 1998. ABRI waktu itu menjelma menjadi alat penguasa yang sangat represif, dan dengan santainya melakukan tindakan melanggar HAM yang sampai saat ini kasusnya tidak pernah jelas dan tak satu pun pelakunya dijebloskan ke penjara.
Dua Presiden RI, Soekarno dan Soeharto sebenarnya merupakan sosok yang fenomenal. Di tangan mereka banyak sekali perkembangan bangsa yang luar biasa. Indonesia menjadi macan Asia di bawah kepemimpinan mereka; hanya saja mereka selalu diikuti oleh orang-orang yang ingin mengkultuskan mereka. Bahkan, ingin menjadikan mereka presiden seumur hidup.
Lalu bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono( SBY). Presiden RI saat ini? Gejala-gejala itu sepertinya semakin dekat. SBY dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang ingin mengkultuskan SBY melalui lagu-lagu ciptaan sang presiden (ingat soal di ujian CPNS Kementrian Perdagangan RI), juga ingin melanggengkan kekuasaan SBY sebagai presiden dengan keinginan mengamandemen UUD 1945 agar bisa dipilih untuk yang ketiga kalinya (ingat pernyataan Ruhut Sitompul yang mengusulkan amandemen masa jabatan presiden).
Di tangan SBY pula Polisi sudah dijadikan alat represif massa dengan mengeluarkan protap tembak di tempat bagi pelaku anarkis (yang belum bisa diklarifikasi maksud anarkisnya). Dengan protap ini tampak sekali bagaimana polisi semakin sewenang-wenang dalam penanganan para demonstran yang menyuarakan aspirasi sebagian rakyat (lihatlah penembakan mahasiswa UBK pada tanggal 20 Oktober 2010 yang lalu di Jalan Diponegoro Jakarta).
Pada masa SBY ini pula harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, perekonomian stagnan, pengangguran bertambah tiap tahunnya, lapangan kerja tidak ada pertambahan, dan angka penduduk miskin tidak berkurang. Di tambah lagi dengan lambannya rezim SBY menyelesaikan masalah-masalah publik seperti Bank Century, skandal pajak, pemberangusan KPK, dan banyak masalah tidak terselesaikan melainkan dibiarkan begitu saja sembari menunggu masyarakat lupa.
Pada satu tahun rezim SBY jilid II ini, SBY telah menjelma menjadi sosok yang "luar biasa" yang ingin mengumpulkan seluruh kekuatan di tangannya, dan seolah segala masalah bisa diatur olehnya tanpa memperhatikan roh dan kejiwaan rakyat Indonesia. SBY telah menjadi sosok yang sangat "superbody" terhadap rakyatnya dan sangat "inferior" di mata asing (lihatlah bagaimana penyelesaian masalah dengan Malaysia?).
Kalau gaya kepemimpinan SBY tetap seperti ini, yang tidak berdiri di atas denyut nadi rakyat Indonesia, bisa dipastikan bahwa rezim ini tidak akan sampai 2014. Banyak Indikasi ke arah sana. Misalnya Presiden yang secara yuridis formal memenangi pemilu di atas 60% tetapi setiap kunjungan ke daerah selalu didemo. Demikian juga tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah yang semakin menurun, membuktikan bahwa rezim ini sedang menuju pada kehancuran.
Yang lebih mengerikan lagi adalah apabila SBY tidak segera mengambil langkah-langkah strategis demi penyelamatan ekonomi, mengembalikan jatidiri bangsa, dan pembelaan rakyat yang semakin nyata; tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat akan melakukan perlawanan dan menjelma menjadi kekuatan rakyat (people power) yang dapat melibas siapa pun yang melawannya.
Masihkah ingat dengan gerakan people power di Filipina? Siapa yang mengira bahwa Ferdinand Marcos bisa digulingkan padahal dia telah menggenggam seluruh kekuatan nasional? Adalah Kardinal Sin, Uskup Agung Manila, sebagai pemimpin umat Katolik Filipina yang tampil sebagai penyelamat Filipina dari kehancuran. Kardinal Sin mendapat dukungan mayoritas rakyat karena ia bertindak atas dasar hati nurani dan bebas dari kepentingan pribadi. Sin dan seluruh umat Katolik (yang adalah mayoritas warga Negara Filipina) telah menjelma menjadi kekuatan yang mahadahsyat melawan rezim otoriter dan korup.
Pertanyaannya adalah mungkinkah peristiwa people power Filipina terjadi di Indonesia? Jawabannya mungkin. Tetapi, dengan syarat bahwa people power di Indonesia mestinya dipimpin oleh kelompok mayoritas Indonesia, yakni masyarakat muslim. Musti tampil tokoh Islam yang bebas kepentingan dan hanya berbuat untuk rakyat. Layaknya Kardinal Sin. Andaikata ormas keagamaan terbesar di Indonesia NU dan Muhamadiyah bersatu demi bangsa, Indonesia akan mampu menjadi bangsa besar dan bermartabat, yang setiap saat ?menjewer? pemerintah bila berbuat menyeleweng dari cita-cita
kebangsaan.
Namun demikian, rezim SBY masih memiliki waktu untuk berbenah diri. Di sisa waktu ini teruslah berbuat untuk rakyat. Jangan dihiraukan partai-partai yang hanya mencari keuntungan untuk diri dan kelompoknya. Benahi kabinet dan tempatkan orang-orang profesional untuk mengelola bangsa. Buang habis para penjilat dan fokus pada kemakmuran rakyat seperti menjadi janji masa kampanye dulu. Insya Allah rezim ini sampai ke 2014 dengan catatan tinta emas karena presidennya bekerja untuk rakyat.
Eusta Supono
Peneliti Sosial Politik CINTA Indonesia
yoestas@yahoo.com
sumber: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/10/25/085104/1473868/471/tanda-tanda-kejatuhan-rezim-dan-gerakan-people-power?882205471
No comments:
Post a Comment